Sabtu, 23 Februari 2013

Artikel Bahasa Indonesia : Bahasa Adalah Identitas Bangsa

 Semua orang pasti sadar bahwa bahasa adalah alat komunikasi, alat identifikasi diri, alat untuk bekerja sama, dan lain sebagainya, yang tidak perlu lagi disebutkan di sini (kalau ini sih nyontek buku teks mata kuliah Pengantar Linguistik Umum). Yang pasti, ciri paling menonjol dari suatu masyarakat atau bangsa tercermin dari bahasanya. Itu sebabnya orang Melayu mempunyai pepatah yang berbunyi “bahasa menunjukka bangsa’. Seluruh aspek budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau bangsa terangkum di dalam bahasanya. Bahasa menyimpan seluruh data budaya masyarakatnya. Bagaimana masyarakat itu berpikir, bagaimana mereka menanggapi gejala alam, bagaimana mereka memandang hidup, semua terhimpun dan tersimpan di dalam bahasanya. Dengan demikian, bahasa merupakan identitas budaya suatu masyarakat.  
Karena bahasa merupakan identitas budaya suatu masyarakat atau bangsa, maka seringkali suatu bahasa tidak dapat dipadankan dengan bahasa lain secara satu lawan satu, artinya, kita seringkali tidak dapat menerjemahkan suatu kata dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain secara tepat, atau dengan nuansa yang persis sama. Misalnya, bagaimana kita menerjemahkan kata ngruwat atau wayang ke dalam bahasa Indonesia karena konsep ngruwat dan wayang hanya ada dalam budaya masyarakat Jawa. Demikian juga, bagaimana kita menerjemahkan ngaben ke dalam bahasa lain karena konsep itu hanya ada pada kultur masyarakat Bali yang beragama Hindu. Sebaliknya, adakah padanan kata “rapat” (pertemuan formal membahas suatu hal) dalam bahasa Jawa? Contoh lain, bagaimana kita menerjemahkan brother atau sister ke dalam bahasa Indonesia; di lain pihak bagaimana kita bisa menerjemahkan “kakak” atau “adik” ke dalam bahasa Inggris karena ada perbedaan cara pandang masyarakat Melayu (pemilik bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia) dengan penutur bahasa Inggris mengenai konsep kekerabatan. Masyarakat Melayu (atau mungkin bangsa Asa pada  umumnya) meninjaunya dari segi usia (vertikal), sementara masyarakat berbahasa Inggris (dan mungkin juga bangsa-bangsa barat pada umumnya) menggunakan jender sebagai acuan (horisontal). Itu sebabnya mengapa beberapa ahli bahasa tidak sepakat dengan anggapan bahwa suatu bahasa lebih kaya daripada yang lain, atau bahasa yang satu lebih miskin daripada yang lain, karena pada dasarnya setiap masyarakat bahasa mempunyai cara pandang yang berbeda mengenai alam dan gejala alam. Dengan perkataan lain, setiap bahasa mempunyai “kodrat” sendiri yang memadai untuk memenuhi hajat hidup masyarakat penuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Yang Terbaru