Semua orang pasti sadar
bahwa bahasa adalah alat komunikasi, alat identifikasi diri, alat untuk bekerja
sama, dan lain sebagainya, yang tidak perlu lagi disebutkan di sini (kalau ini
sih nyontek buku teks mata kuliah Pengantar Linguistik Umum). Yang pasti, ciri
paling menonjol dari suatu masyarakat atau bangsa tercermin dari bahasanya. Itu
sebabnya orang Melayu mempunyai pepatah yang berbunyi “bahasa menunjukka
bangsa’. Seluruh aspek budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau bangsa
terangkum di dalam bahasanya. Bahasa menyimpan seluruh data budaya
masyarakatnya. Bagaimana masyarakat itu berpikir, bagaimana mereka menanggapi
gejala alam, bagaimana mereka memandang hidup, semua terhimpun dan tersimpan di
dalam bahasanya. Dengan demikian, bahasa merupakan identitas budaya suatu
masyarakat.
Karena bahasa merupakan identitas budaya suatu masyarakat
atau bangsa, maka seringkali suatu bahasa tidak dapat dipadankan dengan bahasa
lain secara satu lawan satu, artinya, kita seringkali tidak dapat menerjemahkan
suatu kata dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain secara tepat, atau dengan
nuansa yang persis sama. Misalnya, bagaimana kita menerjemahkan kata ngruwat
atau wayang ke dalam bahasa Indonesia karena konsep ngruwat dan wayang
hanya ada dalam budaya masyarakat Jawa. Demikian juga, bagaimana kita
menerjemahkan ngaben ke dalam bahasa lain karena konsep itu hanya ada
pada kultur masyarakat Bali yang beragama
Hindu. Sebaliknya, adakah padanan kata “rapat” (pertemuan formal membahas suatu
hal) dalam bahasa Jawa? Contoh lain, bagaimana kita menerjemahkan brother
atau sister ke dalam bahasa Indonesia; di lain pihak bagaimana kita bisa
menerjemahkan “kakak” atau “adik” ke dalam bahasa Inggris karena ada perbedaan
cara pandang masyarakat Melayu (pemilik bahasa Melayu yang kemudian menjadi
bahasa Indonesia) dengan penutur bahasa Inggris mengenai konsep kekerabatan.
Masyarakat Melayu (atau mungkin bangsa Asa pada
umumnya) meninjaunya dari segi usia (vertikal), sementara masyarakat
berbahasa Inggris (dan mungkin juga bangsa-bangsa barat pada umumnya)
menggunakan jender sebagai acuan (horisontal). Itu sebabnya mengapa beberapa
ahli bahasa tidak sepakat dengan anggapan bahwa suatu bahasa lebih kaya
daripada yang lain, atau bahasa yang satu lebih miskin daripada yang lain,
karena pada dasarnya setiap masyarakat bahasa mempunyai cara pandang yang
berbeda mengenai alam dan gejala alam. Dengan perkataan lain, setiap bahasa
mempunyai “kodrat” sendiri yang memadai untuk memenuhi hajat hidup masyarakat
penuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar